KEMELUT KABUT KABUPATEN TEGAL
Kumpulan cerita rakyat legenda kabupaten Tegal
Oleh Takwid Budiharso
Dinas P dan K Pemerintah Kabupaten Tegal
Datangnya bangsa Belanda di bumi Nusantara
mengakibatkan bangsa Indonesia
semakin tertindas, apalagi setelah berdirinya VOC dengan system monopoli
perdagangannya. Kompeni Belanda semakin Pongah sehingga kemisikinan dan
kesengsaraan rakyat pun tidak dapat dihindarkan.
Sultan Hayokrokusumo tidak tahan melihat
penderitaan rakyatnya. Sebagai Raja yang bijaksana , beliau merencanakan
penyerangan terhadap VOC di Batavia. Diangkatlah putra Adipati Brang Wetan yang
setia kepada Mataram yang bernama Martoloyo menjadi Adipati Tegal untuk
mempersiapkan logistic makanan dan lumbung padi dan peralatan perang di wilayah
Barat Pulau Jawa.
Setelah persiapan matang maka Sultan
Hayokrokusumo memerintahkan Baurekso untuk segera menyerang VOC di Batavia.
Dengan pasukan yang bernama Kalatida, Baurekso yang dibantu oleh Suro Agulagul,
kyai Adipati Mandurejo dan Temanggung Upasanta menyerang Belanda. Dengan bekal
semangat yang membara dan tekad yang membaja serta gagah berani, akhirnya dapat
memukul mundur dan memporak-porandakan pasukan Belanda.
Karena kekalahan dan korban yang tidak sedikit ,
VOC merasa penasaran. Maka digunakanlah siasat licik dan kotornya, yaitu dengan
membendung Sungai Ciliwung dan membakar lumbung-lumbung pangan yang ada di
Kerawang dan Cirebon
sehingga Mataram dapat didesak mundur dan lumpuh karena kekurangan persediaan
makanan. Baurekso kemudian menarik mundur tentara Mataram.
Mendengar kekalahan tentara Mataram, Sultan
Agung menjadi masgul hatinya. Tetapi lain halnya dengan Adipati Martoloyo
kekalahan itu tifak menjadikan patah semangat. Ia bersumpah akan terus berjuang
mengusir penjajah Belanda dari Bumi Nusantara.
Setelah Sultan Agung wafat, yang kemudian
digantikan oleh putranyayang bernama Amangkurat I sebagai Raja Mataram. Tetapi
sayangnya, sifat Sunan Amangkurat I tidak sebijak dan searif ayahnya. Dalam
memengang tampuk pemerintahan Sunan Ambagkurat I sangat semena-mena shingga
kurang mendapat simpati rakyat. Adiknya sendiri yang bernama Pangeran Alit
dibunuh karena dituduh merebut selirnya yang bernama Rara Mangli. Hal ini
memicu timbulnya pemberontakan Pasingsingaan . Rakyat semakin benci setalh
diketahui bahwa Amangkurat I bekerjasama dengan Belanda.
Trunajaya Adipatid ari Madura meberontak
terhadap Mataram untuk menuntut bals atas kematian ayahnya yang dibunuh oleh Amngkurat I.
apalagi ia merasa berhak atas thata Mataram.
Amanagkurat merasa kewalahan menghadapai
Trunajaya. Situasi pemerintah di Mataram semakin tak menentu. Dalam keadaan
kalut dan terjepit, Amangkurat I meninggalkan keratin bersma keluarga dan
prajuritnya yang setia menuju Batavia
untuk meminta bantuan kepada kompeni Belanda.
Smapai di Banyumas, Amangkurat I jatuh sakit
karena kelelahan dan tertekan jiwanya. Mengingat keadaan kesehatannya nyang
semakin buruk, maka berpesanlah Amangkurat O kepada putranya yang bernama
Pangeran Anom.
“ Putraku, perlu kamu ketahui, sehubungan dengan
kesehatan Yah, maka jika Ayah meninggal kelak, jenazah Ayah agar dimakamkan di
TegalArum.”
“Dan yang kedua, teruskan perjuangan untuk
merebut kembali Mataam dari tangan Trunajoyo.Selanjutnya kamu segera mengutus
Narantaka (Gendowor ) untuk segera menjemput Adipati Martoloyo agar segera
menyusul ke Banyumas.
Setelah menyampakan pesan, rombongan pun
meneruskan perjalanannya. Sampai di Ajibarang, Amangkurat I wafat. Pangeran
Anom memerintahkan rombongan untuk menruskan perjalanannya sambil mencari
tempat untuk menyucikan jenazah ayahnya.
Sampai di daerah Bumiayu, rombongan dirsuruh
berhenti. “Untuk mendapatkan safaatnya di Bumi yang ayu inilah jenazah ayahku
harus disucikan,”kata pangeran Anom. “Untuk itu saya mohon untuk segera mencari
tempat yang layak untuk upacara penyiraman.”
Mereka kemudian mencari tempat dan mempersiapkan
beberfapa sarana untuk penyucian jenazah. Dengan dibantu oleh para warga
setempat, upacara penyiraman pun dengan penuh hikmat.
Sebelum meninggalkan tempat, Pangeran Anom
berujra,”Para kadang nayaka praja yang saya
cintai. Perlu Andika ketahui, sebagai peringatan anak cucu kita kelak daerah
ini kuberi nama Pasiraman. “
Setelah berujar demikian, dengan iringan
sholawat dan dzikir rombongan iringan pengusung jenazah meneruskan
perjalanannya menuju tempat pemakaman seperti yang telah diamanatkan. Rombongan
iringan jenazah berhenti untuk beristirahat dan temapt tersebuit diberi nama
oleh Pangeran Anom BATU AGUNG, karena terdapat terdapat batu besar.
Esok harinya, para bala punggawa diperintahkan
untuk sebagian pergi kembali ke Mataram untuk memberikan kabar keluarga dan
sebagian yang lainnya tetap melanjutkan perjalanan. Dan akhirnya tempat ini
diberi nama Balapulang.
Adipati melanjutkan perjalanan ke Kadipaten
Tegal. Sesampainya nsegera diadakan upacara Pemakaman Raja Amangkurat I.
Setelah itu, Pangeran Anom dinobatkan sebagai Raja Mataram di Keraton Tegal dan
diberi gelar Amangkurat II.
Amangkurat II kemudian kembali ke Mataram
bersama dengan sisa-sisa lascar Mataram yang masih setia. Untuk mengatur
pemerintahan, sementara menempati daerah Jepara.
Monopoli perdagangan yang mengakibatkan rakyat
sengsara ditambah lagi dengan peraturan tanam paksa yang dilakukan oleh VOC
dalam upayanyauntuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya menjadikan para petani
semakin menderita dan kemiskinan pun ada di mana-mana. Melihat ini semua,
Adipati Martoloyo bangki mengerahkan bala tentaranya dengan rakyat mengangkat
senjat menyerang penjajah Belanda.
Karena penindasan yang dilakukan Belanda, timbul
pemberontakan di mana-mana. Tak terkecuali Trunajaya pun tak henti-hentinya terus mengadakan penyerangan
terhadap Belanda di samping mempertahankan kedudukannya di Mataram. Belanda
dibuat kewalahan menghadapai tentara Martoloyo dan Trunojoyo, sehingga VOC
mengalami kerugian.
Adipati Martoloyo sadar seandainya ia bersatu
dengan pasukan Trunojoyo dengan satu kekuatan akan dengan mudah menumpas
kompeni Belanda. Tetapi Martoloyo dihadapkan pada dua pilhan yang sangat berat.
Sebagai Adipati di bawah pemerintahan Mataram, ia harus dapat membantu
mengembalikan keratin Mataram yang telah dikuasai oleh Adipati Trunojoyo.
Di sisi lain, Adipati Martoloyo sangat
menyesalkan sifat dan kelemahan Sunan Amangkurat II yang mengabaikan saran dari
para Adipati agar jangan berhubungan dengan Belanda, karena dapat merugikan dan
memnacing kemarahan rakyat Mataram.
Pada saat Adipati Martoloyo pergi ke Jepara
untuk menyaksikan pelantikan para Adipati, ia dibuat terperanjat dan tercengang
karena di situ juga hadir juga DJ Speelman dan pengawalnya sebagai utusan wakil
gubernur Jenderal Belanda.
Seusai pelantikan, Sunan Amangkurat II
memberikan pebjelasan maksud kedatangan utusan wakil Gubernur Jenderal Belanda.
“Para Adipati, para tumenggung dan para nayaka
yang saya hormati, “kata Amangkurat II mengawali pembicaraannya,”Sebenarnya
saya mohon maaf. Tentunya Andika semua memaklumi keberadaan dan posisi kita.
Untuk merbut kembali keraton Mataram dari tangan Trunojoyo, saya dengan
terpaksa meminta bantuan kepada kompeni Belanda karena kemampuan kita yang
terbatas. Untuk itu saya mohon dengan sangat agar Andika semua sudi
menandatangani perjanjian yang telah saya sepakati.”
Mendengat apa yang relah dituturkan oleh Sunan
Amangkurat II, Adipati Martoloyo tidak dapat menahan emosinya, diminta dan
dibacanya surat perjanjian yang isinya, “ Kompeni Belanda siap membantu
mengembalikan Keraton Mataram dan keamanan di Mataram dengan sayarat, Pantai
Utara Pulau Jawa dari Cirebon samapi dengan Jepara harus digadaikan kepada
VOC.”
Dengan wajah memerah dan suara yang lantang
Martoloyo angkat bicara, “ Kanjeng Sunan , Panjenengan itu raja pengemban
amanat rakyat yang sebenarnya harus betindak arif maupun memayu hayuning
manungsa dan memayu hayuning bangsa.”
“Yang artinya, seorang pemimpin harus bisa mayungi,
madangi, dan membuat sejahtera rakyatnya, “kata Martoloyo. “Tetapi malah
sebalikya , tindakan penjenengan itu semakin memperparah kondisi rakyat. Rakyat
Mataraam sudah cukup menderita karena aturan monopoli perdagangan dan tanam
paksa. Seandainya Pantai Utara Pulau Jwa dari Cirebon sampai Jepara harus digadaika kepada
VOC, rakyat nelayan mau makan apa ? Tidak, sekali-kali tidak! Saya tidak
setuju!” dengan luapan emosinya yang tidak dapat dibendung Martoloyo
meninggalkan persidangan dan langsung ke Kadipaten Tegal .
Sunan Amangkurat II terperanjat dan tidak menyadari bahwa
tindakannya itu keliru sehingga mendapat protes keras dari Adipati Martoloyo.
Banyak di antara para Adipati yang memaklumi dan membenarkan serta mendukung
sikap yang dilakukan oleh Adipati
Martoloyo.
Di paringgitan Kadipaten Tegal, Martoloyo tampak
muram. Rupanya peristiwa pada pelantikan para Adipati di Jepara masih membekas
di benaknya. Melihat perilaku suaminya Nini Martoloyo merasa prihatin.
“Kang mas, dalam beberapa hari belakangan ini
Kang Mas kelihatan muram, ada apa toh pak? Katakanlah barangkali saya bisa
membantu memecahkan masalah yang sedang Kang Mas hadapi.” Kata Nini Martoloyo.”
Atau barangkali ada kekeliruan saya dalam mendampingi Kang Mas?”
Martoloyo menarik napas dalam-dalam dan tampak
sekilas senyum di balik kepesihannya dan ditatap wajah istrinya dengan penuh
kasih.
“Oh tidak Ni Mas. Saya justru bangga mempunyai
pendamping seperi kamu, baik dan penuh perhatian. “
“Iya, tetapi mengapa semenjak pulang dari Jepara
Kang Mas kelihatan sedih, gelisah, sehingga daharan pun jarang disentuh.”
Martoloyo diam dan bingung apa yang harus dikatakan
kepada istrinya. Tiba-tiba datang Narantaka (Gendowor) mengatur sembah.
“Maaf Kanjeng Adipati, di balai Kadipaten ada
tamu, yaitu Dimas Kanjeng Adipati Martopuro datang ingin menghadap.”
“Persilakan mereka masuk dan menunggu
sebentar,”perintah Martoloyo.
Adipati Martoloyo keluar kemudian memberikan
salam kepada para tamunya.
“Assalamualaikum wr.wb. “
“Wa alaikum slam wr.wb.” jawab Martopuro seraya
berdiri berjabat tangan.
“Subhanallah………..semenjakpagi burung pernajak
tidak henti-hentinya berkicau, tidak tahunyaakan ada tamu dari Jepara,”kata
Martoloyo.”Apa kaba , Di Mas, baik-baik saja bukan ?
“Alhamdulillah, tak kurang suatu apa pun. Semoga
Kangmas sekeluarga demikian pula,” kata Martapuro.
“Amin, yah demikian seperti yang Di mas
lihat,”kata Martoloyo,”Kok janur gunung Dik Mas datang kemari. Ada perlu apa?”
“Sebelumnya saya mohon maaf kelancangan saya
sehingga mungkin mengejutkan hati Kang Mas. Sebenarnya, saya diutus oleh
Kanjeng Sunan Amangkurat II, untuk mengundang Kang Mask Jepara. Rupanya Kanjeng
Sunan akan memberikan penjelasan tentang eksalahpahaman yang terjadi dan Kang
Mas diajak untuk bermusyawarah agar keputusan dapat dicapai dengan baik. Sebab
menurut panndangan Kanjeng Sunan, kunci kebehasilan permusyawarat ada di tangan
panjenengan Kang Mas.”
Mendengan apa yang disampaikan Martapuro dengan
nada setengah memaksa, telinga Martoloyo memerah, sehingga suasana menjadi
tegang.
“Tidak, saya tidak mau datang,;”kata
Martoloyo tegas,”Sebab saya yakin
Kanjeng Sunan tidak mau mengubah pendiriannya karma Kanjeng Sunan jiwanya
lemah, kuran percaya diri dan tidak mau menerima saran dari Adipati.”
“Saya sendiri sebenatnya agak kurang setuju
tetap Kanjeng Sunan itu beda. Mungkin kondisi kekuatan Mataram kurang memadai
sehingga pelu minta bantuan kepada kompeni Belanda.”
Martoloyo tersenyum sinis mendengar ucapan
karena dalam benaknya ia agak yakin
Martopuro memihak kepda Sunan Amangkurat.
“Dik Mas Martopuro, tentunya matamu melek dan
telingamu tidka tuli. Kami bersama-sama dengan rakyat dan didukung oleh para
Adipati, maju bersama-sama menyerang
Kadipaten-Kadipaten buatan Belanda dan hasilnya satu persatu dapat kami
taklukan sehingga kompeni Belanda merasa miris menghadapi kami,”kata Martoloyo.
“Dan lagi dengarkan. Trunojoyo dapat merebut
Mataram karena dukungan kekuatan rakyat yang sangat membenci Belanda dan samapi
saat ini pun Adipati Trunojoyo masih gigih mengadakan pemebrontakan terhadap
Belanda di samping memperrtahakan kedudukannya di keratin Mataram. Sebenarnya
Kanjeng Sunan Amangkurat II malu melihat jiwa ksatria yang dimiliki oleh
Adipati Trunojoyo.”
“Tetapi, Kang Mas ….”
“Maaf, Dik Mas, jangan dipotong dulu
pembicaraanku. Saya heran dan mnyesalkan mengapa di antara anak dan cucunya
tidak ada yang meniru kearifan leluhurnya, Sultan Agung Hanyokokusumo, yang
berjiwa berbudi bahwa leksana, bertanggungjawab kepada nasib rakyatnya dan
memiliki jiwa besar ingin menyatukan Pulau Jawa. “
“Kang Mas saya ke sini sebagai utusan mengajak
Kang Mas ke Mataram,” kata Martapuro.
“Maaf, saya tidak mau menjilat ludah yang saya
keluarkan. Sabdo pandita Ratu Tan Kena Wola-Wali. Saya yakin kedatanganku ke
Mataram, yaitu Jepara, tidak akan bisa mengubah pendirianku Kanjeng Sunan. Kamu
, saya ingatkan , jangan sekali-kali menambah penderitaan rakyat karena
penindasan semena-mena dari Belanda. Perlu Dik Mas ketahui, seandainya saya
menyetujui perjanjian itu, bagaimana nasib para nelayan Mataram? Sudahkan kamu
berpikir sejauh itu ?”
“Saya hanya sekedar utusan yang mengemban
amanat dari Kanjeng Sunan. Jadi bisa
tidak bisa saya paksa dengan jalan apa pun untuk menghadapi.”
“Saya tetap tidak mau. Daripada saya duduk
singgasana yang basah oleh darah dan tulang belulang penderitaan rakyat, lebih
abik saya lengser dari Adipati dan saya bersumpah akan tetap bersama-sama
dengan rakyat, terus berjuang melawan kedoliman. Oleh karena itu, sekarang juga
kamu harus keluar dan sampaikan kepada sesembahanmu,”kata Martoloyo dengan
lantang dan tegas.
CERITANYA BELUM SELESAI YA?BARU SEPARO
BalasHapusCerita sejarah perjuangan yang hebat
BalasHapus