MENU

MENU : TERAS I MESSENGER OF PEACE I CURHATAN HATI I SASTRA & CERITA I PENGALAMAN HIDUP I IDE DAN TIPS I PRAMUKA I TENTANG TEGAL I


Instagram Instagram

Senin, 02 Desember 2013

Aku ini memang seorang Pengkhianat! Puas?



Kadang mulut tak mampu mengungkap kalimat untuk menjelaskan semua kejadian masa lalu dan keinginan di masa depan. Ketika mulut pun mampu mengurai kalimat, sang lawan bicara pun tetap menganggap hal itu sama dengan yang lain. Ya, jelas memang sama, yaitu ketika hal itu hanya menjadi pelampiasan kegalauan, entah konflik dengan instansi atau konflik dengan orang terdekat kita. Semuanya berakhir sama yaitu berpisah dan memisahkan diri. Apapun alasannya tidak akan mengubah bahwa intinya adalah meninggalkan segalanya di sini. Kalau saja mulut ini bisa bicara, aku ingin mengungkapkan bahwa ada hal yang besar dalam hati ingin diungkap.

Pertama, dengan kebulatan tekad, aku ingin mulai dari awal tanpa melihat wajah tiga tahun yang lalu yang kelam tanpa harapan dan perjuangan. Ingin tidak memikirkan kawan terdekat. Aku hanya ingin memulai layaknya dari nol belajar. Dengan ilmu beberapa tahun ke depan aku mampu membuktikan aku mampu belajar dan bangkit lagi. Namun, tetap hati ini tertambat pada sebuah rumah mungil di sana. Tambatan bahwa aku mempunyai saudara-saudara yang masih harus orang tua emban, orang tua yang semakin menua menuju masa pensiunnya.


Beberapa tahun yang lalu, aku ingin keluar. Tambatan menghalangi terus dan menjadi bayangan hitam di sepanjang jalan. Hati ini tak mampu bertahan kalau hanya menjadi pesuruh dan diam menjadi pendengar saja. Ketika mulut di tahan untuk tidak berbicara, ketika tangan ingin diangkat tetapi ditarik ke bawah lagi, ketika mata ingin melihat tetapi ditutup dengan kain hitam. Apakah akan tetap bertahan seperti ini hanya sebagai pelayan tanpa boleh bicara dan berpendapat. Apakah aku akan hidup dengan keadaan di mana sistem terlalu saklek dengan aturan lama.

Kalau ternyata aku hanya melampiaskan diri di tempat itu, sungguh demi Allah, aku ingin belajar bukan sebagai batu loncatan, tapi sungguh aku ingin belajar dari awal. Hal mana yang menunjang bidang keilmuanku sebelumnya. Itu hanya alasan sebenarnya karena alasan terbesarku adalah menjauhi tempat sebelumnya yang sangat jauh dari kata harapan dan tantangan. Tak mampu kuingat masa kelam ketika setiap hari aku menjatuhkan air mataku dan mencoba menahan suara tangis agar tak terdengar sahabat teman yang lain. Aku mencoba tertawa lepas namun menahan kesedihan. Bagaimana aku bisa mengingat kembali masa kelam sewaktu dulu. Apakah aku akan tetap menjadi sedemikian itu lagi sekarang? Kalau hanya diam di kantor dan digaji pemerintah tanpa ada usaha yang baik ke depan.

Orang di sana hanya kamuflase mendapatkan pekerjaan dan dianggap menjadi orang yang telah berguna bagi orang di sekitarnya, cuih bahkan dia tak mampu menghitung berapa orang yang ada di kelasnya. Cuih, benar bagsat orang munafik di sana, menghambakan derajat yang lebih tinggi dengan menyombongkan kemampuan diri di hadapan teman lain. Tetapi tetap saja pengikut yang bergaji tingi. Kadang sangat dilematis antara memilih menjadi seorang budah bergaji tinggi atau bos bergaji rendah. Keduanya tetap sama, terlalu menjadi orang munafik, termasuk diriku. Lengan pun tak mampu merangkai kata. Hitam pun terlihat seperti hijau, hijau pun terlihat ungu. Tidak ada yang jelas di pandangan maupun pikiran karena memang aku ini selalu buta.

Aku mendapatkan apa yang aku damba. Di sini aku memiliki teman dan guru yang baik dan senantiasa memotivasi agar terus menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat. Membantuku membuka mata bahwa Islam itu indah dan damai, membuka mata bahwa dunia itu memang sangat luas. Namun, akhirnya aku tahu juga bahwa Islam mengajarkanku untuk terus berpikir apakah tindakan kita benar, padahal aku tidak ingin berpikir apa yang akan terjadi di masa depan.

Ketika duniaku terasa diputarbalikkan, di sini aku tetap menangis meratapi ketidakbahagiaan di masa lalu dan ingin sekali mengembalikan waktu itu kembali. Hal itu tidak mungkin terjadi. Pertimbangan demi pertimbangan menjadi tumpuan dalam berpikir. Orang lain pun sudah berpikir kalau waktuku tidak ada yang berguna dan hanya membuang waktu. Iya, aku membuang  waktu. Lalu? Apakah aku salah memulai dari awal? Salahkah aku kalau berkata ku ingin yang sekarang ini? Dunia akan tetap mencaci maki diriku karena menjadi seorang pembelot tak berhati sekaligus pemberontak yang tidak tahu terima kasih. Lalu apa yang akan aku lakukan selanjutnya?

Sekarang ketakutan muncul lagi ketika aku berakhir dengan meninggalkan tempat ini, aku dicap sebagai pendompleng. Demi Allah, aku tulus belajar dan meraih gelar selain gelar yang aku inginkan. Tetapi kalau tidak, selama beberapa tahun ke depan aku akan bertahan di sini. Sungguh, aku tidak bermaksud mempermainkan suatu tempat. Aku ingin belajar dengan sungguh-sungguh tanpa lelah. Aku tahu kalau orang lain akan berpikiran jelek tentangku. Aku pun salah mengatakan kalau aku tidak pasti masuk ke dalam ikatan. Padahal dengan jelas aku sudah terikat dengan negara sejak awal, dan akan susah untuk di kemudian hari, pasti muncul masalah.

Aku ingin sekali melupakan bahwa aku mempunyai saudara yang masih harus sekolah dan ingin sekali melupakan orang tua yang semakin menua. Ketika melihat orang lain yang jauh lebih beruntung daripada diriku, aku hanya terhenyak diam. Lalu aku melihat orang lain lagi.

Sekian tahun aku melihat dan mendengarkan orang lain, lalu adakah manfaat untukku selain penderitaan yang semakin terasa di dada? Iya, mulai sekarang semua ada di tanganku, tidak ada suara orang lain lagi yang akan mengangguku. Nasib orang lain mungkin lebih baik daripadaku dan jauh lebih baik karena orang tua mereka selalu mendukung mereka setidaknya dalam hal yang aku tak mampu menjangkaunya. Aku harus bersyukur karena aku berusaha sebisa mungkin mengukir nasibku sendiri. Di Usia yang hampir seperempat dasawarsa seharusnya aku mampu tersenyum dan melangkahkan kakiku sendiri. Aku tidak akan mendengarkan orang lain menyebutku seperti apa karena apapun yang kita lakukan akan selalu salah di mata orang lain dan dianggap sebagai pemberontak di manapun aku berada. Pada satu instansi aku akan dianggap Cuma cari nama, di sini pun dianggap Cuma pelampiasan. Lalu apalagi yang akan aku perbuat? Jawabannya semakin luas dan terbuka. Percuma memikirkan apa kata orang. Ibu, Bapak, percaya padaku bahwa ini jalan yang aku pilih nantinya walau bukan hari ini jawaban akhirnya. Aku akan terus berusaha sebaik mungkin di setiap pilihan dan jalan yang aku pilih. Langkah hari ini pun aku lakukan dengan sebaik mungkin dan maksimal. Tak ada kata waktu terbuang dalam kamus hidupku. Apakah arti gelar huh?

Untuk  kakak kelas dan para pengajar yang akan melabel kata khianat (dari pihak mana pun) pada saya, saya siap!

Tuhan, inilah aku yang tidak berdaya akan cobaan dunia, tapi aku yakin Tuhan akan menuntunku ke jalan yang benar karena rahmat dan kasih sayangNya padaku dan umatnya. Amin.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa pendapatmu atas tulisa saya di atas?