Kadang mulut tak
mampu mengungkap kalimat untuk menjelaskan semua kejadian masa lalu dan
keinginan di masa depan. Ketika mulut pun mampu mengurai kalimat, sang lawan
bicara pun tetap menganggap hal itu sama dengan yang lain. Ya, jelas memang
sama, yaitu ketika hal itu hanya menjadi pelampiasan kegalauan, entah konflik
dengan instansi atau konflik dengan orang terdekat kita. Semuanya berakhir sama
yaitu berpisah dan memisahkan diri. Apapun alasannya tidak akan mengubah bahwa
intinya adalah meninggalkan segalanya di sini. Kalau saja mulut ini bisa
bicara, aku ingin mengungkapkan bahwa ada hal yang besar dalam hati ingin
diungkap.
Pertama, dengan
kebulatan tekad, aku ingin mulai dari awal tanpa melihat wajah tiga tahun yang
lalu yang kelam tanpa harapan dan perjuangan. Ingin tidak memikirkan kawan
terdekat. Aku hanya ingin memulai layaknya dari nol belajar. Dengan ilmu
beberapa tahun ke depan aku mampu membuktikan aku mampu belajar dan bangkit
lagi. Namun, tetap hati ini tertambat pada sebuah rumah mungil di sana. Tambatan
bahwa aku mempunyai saudara-saudara yang masih harus orang tua emban, orang tua
yang semakin menua menuju masa pensiunnya.
Beberapa tahun
yang lalu, aku ingin keluar. Tambatan menghalangi terus dan menjadi bayangan
hitam di sepanjang jalan. Hati ini tak mampu bertahan kalau hanya menjadi
pesuruh dan diam menjadi pendengar saja. Ketika mulut di tahan untuk tidak
berbicara, ketika tangan ingin diangkat tetapi ditarik ke bawah lagi, ketika mata
ingin melihat tetapi ditutup dengan kain hitam. Apakah akan tetap bertahan
seperti ini hanya sebagai pelayan tanpa boleh bicara dan berpendapat. Apakah aku
akan hidup dengan keadaan di mana sistem terlalu saklek dengan aturan lama.
Kalau ternyata
aku hanya melampiaskan diri di tempat itu, sungguh demi Allah, aku ingin
belajar bukan sebagai batu loncatan, tapi sungguh aku ingin belajar dari awal.
Hal mana yang menunjang bidang keilmuanku sebelumnya. Itu hanya alasan
sebenarnya karena alasan terbesarku adalah menjauhi tempat sebelumnya yang
sangat jauh dari kata harapan dan tantangan. Tak mampu kuingat masa kelam
ketika setiap hari aku menjatuhkan air mataku dan mencoba menahan suara tangis
agar tak terdengar sahabat teman yang lain. Aku mencoba tertawa lepas namun
menahan kesedihan. Bagaimana aku bisa mengingat kembali masa kelam sewaktu
dulu. Apakah aku akan tetap menjadi sedemikian itu lagi sekarang? Kalau hanya
diam di kantor dan digaji pemerintah tanpa ada usaha yang baik ke depan.
Orang di sana
hanya kamuflase mendapatkan pekerjaan dan dianggap menjadi orang yang telah
berguna bagi orang di sekitarnya, cuih bahkan dia tak mampu menghitung berapa
orang yang ada di kelasnya. Cuih, benar bagsat orang munafik di sana,
menghambakan derajat yang lebih tinggi dengan menyombongkan kemampuan diri di
hadapan teman lain. Tetapi tetap saja pengikut yang bergaji tingi. Kadang
sangat dilematis antara memilih menjadi seorang budah bergaji tinggi atau bos
bergaji rendah. Keduanya tetap sama, terlalu menjadi orang munafik, termasuk
diriku. Lengan pun tak mampu merangkai kata. Hitam pun terlihat seperti hijau,
hijau pun terlihat ungu. Tidak ada yang jelas di pandangan maupun pikiran
karena memang aku ini selalu buta.
Aku mendapatkan
apa yang aku damba. Di sini aku memiliki teman dan guru yang baik dan
senantiasa memotivasi agar terus menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.
Membantuku membuka mata bahwa Islam itu indah dan damai, membuka mata bahwa
dunia itu memang sangat luas. Namun, akhirnya aku tahu juga bahwa Islam mengajarkanku
untuk terus berpikir apakah tindakan kita benar, padahal aku tidak ingin
berpikir apa yang akan terjadi di masa depan.
Ketika duniaku
terasa diputarbalikkan, di sini aku tetap menangis meratapi ketidakbahagiaan di
masa lalu dan ingin sekali mengembalikan waktu itu kembali. Hal itu tidak
mungkin terjadi. Pertimbangan demi pertimbangan menjadi tumpuan dalam berpikir.
Orang lain pun sudah berpikir kalau waktuku tidak ada yang berguna dan hanya
membuang waktu. Iya, aku membuang waktu.
Lalu? Apakah aku salah memulai dari awal? Salahkah aku kalau berkata ku ingin
yang sekarang ini? Dunia akan tetap mencaci maki diriku karena menjadi seorang
pembelot tak berhati sekaligus pemberontak yang tidak tahu terima kasih. Lalu
apa yang akan aku lakukan selanjutnya?
Sekarang
ketakutan muncul lagi ketika aku berakhir dengan meninggalkan tempat ini, aku
dicap sebagai pendompleng. Demi Allah, aku tulus belajar dan meraih gelar
selain gelar yang aku inginkan. Tetapi kalau tidak, selama beberapa tahun ke
depan aku akan bertahan di sini. Sungguh, aku tidak bermaksud mempermainkan
suatu tempat. Aku ingin belajar dengan sungguh-sungguh tanpa lelah. Aku tahu
kalau orang lain akan berpikiran jelek tentangku. Aku pun salah mengatakan
kalau aku tidak pasti masuk ke dalam ikatan. Padahal dengan jelas aku sudah
terikat dengan negara sejak awal, dan akan susah untuk di kemudian hari, pasti
muncul masalah.
Aku ingin sekali
melupakan bahwa aku mempunyai saudara yang masih harus sekolah dan ingin sekali
melupakan orang tua yang semakin menua. Ketika melihat orang lain yang jauh
lebih beruntung daripada diriku, aku hanya terhenyak diam. Lalu aku melihat
orang lain lagi.
Sekian tahun aku
melihat dan mendengarkan orang lain, lalu adakah manfaat untukku selain
penderitaan yang semakin terasa di dada? Iya, mulai sekarang semua ada di
tanganku, tidak ada suara orang lain lagi yang akan mengangguku. Nasib orang
lain mungkin lebih baik daripadaku dan jauh lebih baik karena orang tua mereka
selalu mendukung mereka setidaknya dalam hal yang aku tak mampu menjangkaunya.
Aku harus bersyukur karena aku berusaha sebisa mungkin mengukir nasibku
sendiri. Di Usia yang hampir seperempat dasawarsa seharusnya aku mampu
tersenyum dan melangkahkan kakiku sendiri. Aku tidak akan mendengarkan orang
lain menyebutku seperti apa karena apapun yang kita lakukan akan selalu salah
di mata orang lain dan dianggap sebagai pemberontak di manapun aku berada. Pada
satu instansi aku akan dianggap Cuma cari nama, di sini pun dianggap Cuma pelampiasan.
Lalu apalagi yang akan aku perbuat? Jawabannya semakin luas dan terbuka.
Percuma memikirkan apa kata orang. Ibu, Bapak, percaya padaku bahwa ini jalan
yang aku pilih nantinya walau bukan hari ini jawaban akhirnya. Aku akan terus
berusaha sebaik mungkin di setiap pilihan dan jalan yang aku pilih. Langkah
hari ini pun aku lakukan dengan sebaik mungkin dan maksimal. Tak ada kata waktu
terbuang dalam kamus hidupku. Apakah arti gelar huh?
Untuk kakak kelas dan para pengajar yang akan
melabel kata khianat (dari pihak mana pun) pada saya, saya siap!
Tuhan, inilah
aku yang tidak berdaya akan cobaan dunia, tapi aku yakin Tuhan akan menuntunku
ke jalan yang benar karena rahmat dan kasih sayangNya padaku dan umatnya. Amin.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa pendapatmu atas tulisa saya di atas?