Papua, pasti yang terbesit di kepala orang Jawa adalah tinggi, besar, hitam, dan menakutkan. Eits, itu adalah pikiranku sekitar sepuluh tahun yang lalu. Yap, waktu masih SMP, orang yang saya kenal hanyalah orang Jawa dan Jawa. Sudah, tidak ada lagi. Tetapi semenjak saya ikut pramuka (Jambore Nasional 2006), saya tahu bahwa orang Papuan sama seperti kita, punya dialek sendiri, punya bahasa sendiri, punya kebiasaan sendiri. Lalu, mengapa kaget? Mereka bisa nerima kita (mungkin), kenapa kita gak bisa?
Jelas saya kaget waktu pertama kali melihat mereka waktu SMP. Saya selalu "kepo" terhadap orang-orang Papua yang sedang bicara. Mereka bicara dengan sangat cepat dan sangat sulit dimengerti oleh saya. Tetapi tetap saja orang Jawa pasti meng"underestimate" orang Papua, karena mungkin ada yang menganggap orang Papua jarang ada yang bersekolah. Eits. ini sepertinya ada klarifikasi.
Saat ini, saya seatap dengan mereka. Mereka datang dari Merauke dan daerah mmmmm'saya lupa apa nama daerahnya'. Saat pertama kali datang, mereka bertiga bertegur sapa seadanya. Namun, lambat laun, kami sedikit bisa saling bertanya keadaan masing-masing. Teryata guys, kalau kalian tahu, Papua itu sudah maju. Mungkin definisinya beda dengan maju di Jakarta.
Begini kutipan dari teman saya itu.
"Saya jalan dari gerbang depan kampus sampai belakang kampus, itu rasanya mau mati saja". Padahal kalau saya tempuh itu hanya sekitar sepuluh menit saja. Why? saya pikir harusnya mereka sering menempuh perjalanan di Papua karena jarang ditemui jalan raya yang baik. Kalaupun ada jalan, pasti berbatu. Ternyata mereka sudah terbiasa ke mana-mana dengan mengendarai motor. Jadi pergi dari rumah ke warung di depan saja, mereka maunya naik motor. Gak mau jalan kalau tidak naik motor, katanya. Mereka berkata kalau gengsi orang Papua itu besar, jadi kalau bisa naik motor mengapa harus jalan. Lalu, gaya pakaian mereka saat di sana harus diperhatikan. Kalau tidak necis, akan di'liatin' orang sekitar. Baru tahu saya, gak cuma di Jakarta saja yang memperhatikan fashion, orang sana pun mementingkan penampilan. Bagus, kan?
Kedua, perjalanan mereka itu ditempuh dari satu kabupaten ke kabupaten lain menggunakan pesawat terbang, kayak hercules. OK, gak ada bis, gak ada angkot, tapi sekalinya jalan, naik pesawat. Ini pasti karena jalan raya yang tidak memadai sepertinya. Selain jalan raya, sarana angkutan jalan sulit ditemui 'mungkin'. Kalau ini saya hanya bisa mendengarkan apa yang mereka katakan. Saya belum pernah ke Papua sana. Dari cerita mereka saya sangat penasaran untuk pergi dan berkunjung ke sana. Saya mungkin akan melakukan perjalanan darat yang melelahkan tetapi sangat menyenangkan. Semoga saja saya ada kesempatan berkunjung ke sana. Amin.
Ketiga, ternyata ada bandara internasional Papua di Numfor, Biak, namanya, bentar saya cari google , Yap, Namanya adalah
"Bandar Udara Frans Kaisiepo".
Bandara ini sedemikian luasnya kata kakak temanku itu. Luas sekali. Dalam pikiranku, Bandara Soekarno Hatta saja pasti kalah besar dan luas. Dekat situ ada Hotel Marau (kalau tidak salah dengar). Hotel persis berada di tepi laut. Begitu indahnya. Jadi pas bangun pagi bisa langsung memandang laut biru. Dekat raja Ampat katanya. DUh penasaran, beneran gak ya? Penasaran banget gila.
Keempat, perang suku. Pasti teman-teman sudah sangat sering mendengar kata perang suku. Yup, ini pasti, karena di sana sudah adatnya perang dan harus ada yang mati. Mereka tidak akan berhenti berperang sebelum ada yang meninggal. Itu budaya, guys, So, jangan kaget. Tetapi mereka berperang tidak kaya di Jakarta, seenaknya tawuran di jalan raya, mecahin kaca mobil dan rumah, bakar ban, dan mencelakai pengendara jalan raya yang tidak bersalah. Mereka, orang Papua, berperang di area yang khusus untuk berperang, tidak di sembarang tempat. Salah loe kalau loe tiba-tiba kena tusuk tombak karena loe tiba-tiba masuk tempat mereka lagi perang. Jadi, kalau kalian gak ngapa-ngapain dan gak masuk area mereka, saya pastikan aman kok. Tiap suku sudah ada tapal batas (bendera) sebagai tanda daerah masing-masing. Jadi, sebenarnya, kalau dipikir, bisa gak sih kalau gak pake perang? (Gue nanya dalam hati).
Keempat, perang suku. Pasti teman-teman sudah sangat sering mendengar kata perang suku. Yup, ini pasti, karena di sana sudah adatnya perang dan harus ada yang mati. Mereka tidak akan berhenti berperang sebelum ada yang meninggal. Itu budaya, guys, So, jangan kaget. Tetapi mereka berperang tidak kaya di Jakarta, seenaknya tawuran di jalan raya, mecahin kaca mobil dan rumah, bakar ban, dan mencelakai pengendara jalan raya yang tidak bersalah. Mereka, orang Papua, berperang di area yang khusus untuk berperang, tidak di sembarang tempat. Salah loe kalau loe tiba-tiba kena tusuk tombak karena loe tiba-tiba masuk tempat mereka lagi perang. Jadi, kalau kalian gak ngapa-ngapain dan gak masuk area mereka, saya pastikan aman kok. Tiap suku sudah ada tapal batas (bendera) sebagai tanda daerah masing-masing. Jadi, sebenarnya, kalau dipikir, bisa gak sih kalau gak pake perang? (Gue nanya dalam hati).
Ok guys, gitu aja kali perkenalan pertamaku dengan mereka. Sebetulnya bukan perkenalan pertama. Saya sudah pernah ketemu saat Jamnas di Jatinangor dan Perkempinas di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Senangnya beneran seatap.
Dulu satu bumi perkemahan, sekarang satu atap, tetapi tetap saja toh kami tinggal Satu Bumi Indonesia..
Dulu satu bumi perkemahan, sekarang satu atap, tetapi tetap saja toh kami tinggal Satu Bumi Indonesia..
Keep Smile, dan semangat berjuang untuk teman-temanku yang sedang mengemban tugas belajar di Jakarta (Tangerang sebenarnya). Semoga bermanfaat ya di kota masing-masing. Amin.
Semoga harapanu untuk pergi ke Papua tercapai.. :)
BalasHapus