Ok
guys, gue tahu gue bukan orang politik dan gue butuh teman yang lain untuk
diajak konsultasi terkait situasi politik. Kalau mau ngomongin politik rasanya
aneh juga guys karena gue juga gak tahu arti dari politik. Menurut gue politik
itu cara, siasat, strategi untuk memenuhi tujuannya. Oleh karena itu, gak akan
heran orang akan melakukan apa saja demi tujuan dan ambisi dia. Menurut gue sah
sah aja dan wajar kalau orang itu berpolitik asalkan tidak menghalalkan segala
cara untuk mencapai tujuannya. Inilah yang patut untuk dipertanyakan.
Gue
pernah belajar kalau ada yang namanya penghindaran pajak atau tax avoidance.
Tax avoidance itu boleh kok dilakukan. Lho? Yaiyalah orang mau memenuhi
tujuannya agar pajak yang dibayar gak banyak-banyak banget, caranya menghindari
pajak. Itu politik guys. Toh strategi sah-sah aja. Yang dimaksud di sini adalah
menghindari pajak secara legal. Legal artinya sesuai dengan prosedur hukum dan
peraturan yang ada. Menghindari pajak di sini artinya menggunakan celah hukum.
Peraturan dibuat oleh manusia tentunya ada celah atau kelemahan di dalamnya.
Orang yang cerdas tentu akan menggunakan celah itu untuk menghindari pajak. Gue
yakin itu politik yang bener kok. Yang gak bener adalah ketika sudah aturan
yang demikian dan mereka berusaha untuk berbuat curang seperti mengurangi
penghasilan atau penjualan yang sebenarnya atau menyembunyikan dividen yang
seharusnya diberikan, dan politik kotor lainnya.
Berbicara
politik kotor sepertinya agak bertentangan dengan kalimat gue di atas bahwa sah
sah aja dan wajar ketika orang melakukan apa saja demi mencapai ambisinya.
Namun, kalau caranya salah pantas gak kalau gue sebut itu dengan strategi kotor
atau kata lain politik kotor? Menurut gue ini terserah pada kalian yang baca
tulisan gue. Acara yang ngehits banget saat ini adalah masalah pemilu 2014.
Banyak hal aneh yang muncul menjelang pemilu 9 April ini.
Yang
pertama adalah masalah Yusril Ihza Mahendra dan Effendi Ghazali yang mengajukan
untuk mengkaji ulang UU Pilpres. Gue gak tahu persis kalimat pada undang-undang
itu tapi intinya adalah presiden yang dapat diajukan pada pilpres nanti adalah
presiden yang diusung oleh partai yang memperoleh suara minimal 20 persen.
Jadi, partai yang hanya punya suara di DPR kurang dari 20 persen tidak dapat mengajukan
orang dari partainya untuk menjadi calon presiden RI tahun ini.
Hal
ini dikarenakan (menurut dosen gue) untuk mengurangi gesekan antara pemerintah
dan parlemen. Jadi diharapkan suara parlemen yang menyetujui keputusan
pemerintah itu mayoritas. Keputusan
pemerintah akan didukung parlemen karena anggota parlemen adalah berasal dari
partai sang presiden. Hal ini agar tidak sering terjadi pertentangan pendapat
yang membuat Negara goyah. Intinya ya agar seimbang. Ini tidak hanya sebatas
partai si presiden tapi koalisis antar partai bisa membantu pemerintah
mengapliksikan peraturannya. Ketika UU dibuat pemerintah, UU itu harus
disetujui pula oleh parlemen karena dianggap parlemen adalah wakil rakyat.
Contoh
ketika partai a mendapat suara 30 persen, partai b mendapat suara 20 persen dan
partai c mendpat 20 persen pula, serta partai lain sisanya. Walau demikian,
tidak bisa partai dari pemerintah yang akan sangat dominan karena kita bisa
melihat ada partai b dan c yang akan mengawasi. Di sini ada fungsi check dan
balance antara pemerintah dan parlemen. Tentu partai pemerintah setidaknya
mempertimbangkan atau malah mendukung program pemerintah. Sehingga tidak
perlu ada percecokan yang berarti
anatara pemerintah dan partai. Ketika ada fraksi lain menolak tentu itulah
muncul fungsi check dan balance muncul tetapi dapat diimbangi karena ada suara
dari partai pemerintah yang mendukung pemerintah. Sangat sah jika ada dua
pendapat yang muncul.
Masalah
muncul ketika dua tokoh di atas mengajukan untuk mengkaji uu pilpres yang
menganggap bahwa presiden tidak harus bergantung pada suara parlemen di DPR.
Jadi setiap orang berhak untuk mengajukan diri menjadi presiden dan tidak perlu melihat hasil pemilihan
legislatif pada tanggal 9 April. Selain karena alasan hak setiap orang untuk
menjadi pemimpin namun ada hal lain tentunya. Bukan bermaksud berprasangka
buruk tetapi memang hal ini bikin muntah dan gue sendiri gak tahan banget
ketika orang yang punya stasiun televise (jelas seorang pengusaha)
mempromosikan dirinya sebagai calon presiden atau wakil presiden.
Gue
gak tahu apa yang harus gue harus bilang kepada kalian, prasangka paling buruk
ada yang ngomporin orang-orang untuk mempertimbangkan bahwa semua orang berhak
ngajukan jadi presiden walau suara di DPR sangat kecil. Gini gambarannya, nama
gue Herwin dan gue punya stasiun TV Herwin TV missal. Karena gue punya partai
dan gue ngerasa kalau partai gue terlalu kecil untuk jadi tunggangan gue jadi
presiden, dan gak percaya karena bakal dapat suara lebih dari 20 persen, gue pengin
UU pilpres itu dikaji ulang dan berharap beubah bahwa setiap orang berhak
mengajukan diri. Mungkin aja pemilihan presiden bareng dengan pemilihan
legislative. Di samping mengurangi anggaran karena hanya satu hari pemilihan,
dia bahkan dengan mudah untuk mendaftarkan diri menjadi calon presiden dan
wakil presiden.
Banyak
pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang di atas kita dengan membuat iklan
partai sebelum waktunya beriklan. Gue kayaknya pernah baca sudah ada yang
melanggar seperti Hanura, Gerindra, Golkar, dan gue lupa intinya terkait
kampanye lewat media televisi sebelum waktunya. Menurut gue melanggar atau
tidak itu gak penting karena mereka berhak untuk memasang iklan karena mereka
punya duit lebih apalagi yang punya tivi merah atau tivi biru. Apalagi dia yang
punya stasiun TV, hak hak dia untuk mengiklankan diri. Toh gak ada yang rugi
dari Negara kan? Negara akan rugi apa coba?
Memang
kerugian secara finansila tidak ada. Tetapi masyarkata banyak menonton mereka.
Media adalah cara yang paling efektif untuk kampanye. Ketika ada aturan untuk
tidak membuat iklan itu hanya sanksi etik yang dapat diberikan kepada orang
tersebut bahwa hal itu sudah melanggar aturan yang ada. Tapi menurut gue itu
uang-uang mereka habis untuk mereka juga. Tivi juga tivi mereka.
Kalau
zaman dulu, mereka yang punya tivi belum berani seterbuka itu untuk membuka
diri melalu media, mereka semakin gencar untuk buka-bukaan. Partai Golkar punya
Aburizak Bakrie dengan TV one dan AnTV. Wiranto bersama Hary Tanoe yang punya
tv mnc TV, Global tv dan RCTI. Surya Paloeh dengan Metro TV. Stasiun mana yang
tidak dimiliki oleh sang calon? Ya mungkin stasiun besar seperti trans corp
yang tidak ikut campur walau pak Tanjung akan maju 5 tahun lagi gue prediksi.
Haha. Stasiun yang paling netral ya TVRI. Haha. Gue tetap berkeyakinan toh itu
tv mereka. Tv swasta. Pemerintah tidak akan mampu dan tidak ada kekuasaan untuk
mengusik tv swasta itu. Dahulu media merupakan media yang data dikontrol
pemerintah sekarang medialah yang mengontrol pemerintah dan rakyat. TITIK.
Orang
orang ngerasa udah percaya diri kalau dia bakal jadi presiden adalah Pak Abu,
Pak Bowo, Pak Paloeh, dan Pak Wiranto, termasuk yang masuk konvensi kayak Pak
Anis, Pak Gita, Pak Edhi, emm siapa lagi ya? Gue lupa.
Selain
iklan ada juga yang memberikan bantuan social kepada rakyat padahal dia belum
tentu jadi calon presiden. Sebut saja Wiranto dan Hary sang pemilik tivi
sinetron itu. Mereka memberikan pinjaman modal sebesar 500.000 s.d. 1.000.000
kepada orang di Jakarta dan sepertinya hanya tivinya saja yang menayangkan
berita itu. Entah itu benar-benar pinjaman atau bantuan social, gue gak tahu.
Yang gue tahu yang dipake uang mereka, wuih kayak bener ya? Gue bisa bilang gue
anti politik uang tapi gue mau kok nrima uang pinjama atau bantuan social. Gue
gak akan bilang itu politik uang karena orang mau ngasih duit kok dilarang. Mau
sodakoh kok dilarang. Hello? Itu teori dari mana? Pada akhirnya politik uang
atau tidak, uang tetap ada di tangan gue. Ada masalah?
Namun, secara pribadi pula jika ada orang yang
menghalalkan segala cara untuk menjadi pemimpin dengan harta yang ia miliki dan
kekuasaan yang ada, adalah orang yang
tidak patut untuk menjadi pemimpin. Gue yakin ketika dia menjadi pemimpin
dia akan menggunakan media kembali untuk memperngaruhi rakyat agar memenuhi
tujuan bisnis dia. Ketika dia hanya menggunakan media saja tanpa ada
pertimbangan legislative maka ada efek yang muncul. Pertama, adalah fungsi
presiden akan kembali kuat melebihi legislative sama seperti zaman Orde Baru.
Legislatif akan takluk kepada presiden karena presiden terlalu berpengaruh di
media rakyat. Kedua ketika parlemen banyak yang tidak setuju dengan keputusan
atau uu yang dirancang presiden maka butuh waktu yang lama dan ekstra usaha
untuk mengaplikasikan uu itu. Goyah, tidak seimbang akan terjadi di Negara
ini. Tidak ada yang mau mengalah dan
tidak ada yang saling mendukung merupakan hal terburuk yang ada di pikiran gue.
Ketiga, Negara akan berjalan secara lambat, mudah goyah, dan mudah di adu
domba.
Gue
gak menyalahkan atau membenarkan perlunya pilpres tidak menunggu pemilu
legislative. Kalau terjadi endingnya bahwa presiden boleh siapa aja tanpa
bergantung pada partai. Maka ketika jadi presiden gue berharap bahwa dia gak
akan menggunakan media apapun untuk menghalalkan tujuannya. Gue berharap
legislative gak terlalu ego karena presiden yang tidak berasal dari partainya.
Gue berharap pula presiden gak seenaknya sendiri bikin aturan yang terlalu
mendominasikan asing daripada bangsa sendiri karena gue lihat calon presiden
kita ini kapitalis ABIS. Hehe
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa pendapatmu atas tulisa saya di atas?