Setelah merenung dan berdiam saja
di bawah atap selebar sat kali dua meter dan di bawah lampu neon yang dipenuhi
semut hitam kecil, saya ingin mengatakan bahwa saya benar untuk hari ini. Saya kembali
menulis dan menghitung untuk orang lain. Saya yakin benar untuk hari ini dan
berharap besok lebih berarti lagi. Saya kembali berpikir ulang untuk menulis
kembali judul saya terkait pemilu bulan lalu (lebih tepatnya tentang keraguan
saya akan pemilihan presiden tanpa menunggu pemilu legislatif). Saya kembali
merenungkan setelah mendengar kalimat dan janji Pak Habibie, mantan presiden
ketiga Republik Indonesia tercinta.
Beliau setuju dengan presiden
independen. Saya kaget kok bisa? Setelah yang saya katakan di post sebelumnya
bahwa saya takut terjadinya ketimpangan ketika presidensial tidak didukung oleh
parlementer atau legislatif karena semua kebijakan pemerintah itu harus
didukung parlemen jika ingin digolkan menjadi peraturan. Tentu ketika DPR tidak
menyetujui beberapa rancangan kebijakan presiden, kebijakan tidak dapat
diaplikasikan kepada rakyat. Itulah fungsi legislatif. Hal ini dilakukan agar
kekuasaan presidensial tidak terlalu dominan dan mengalahkan legislatif yang dianggap
sebagai perwakilan rakyat di pemerintahan. Sering terjadi ketidaksinkronan
antara parlemen dan presiden. Namun saya kembali melihat hal lain.
Sesuatu tidak dapat dilihat hanya
satu sudut yaitu demi hanya ketidatimpangan atau demi menghindari adu pendapat
tetapi memang adu pendapat perlu terjadi. Mengapa perlu? Baik saya akan
ceritakan secara runtut dari bawah ketika presiden diajukan dengan tanpa melihat
suara partai di parlemen atau presiden independen tanpa menunggang partai. Dua hal
ini tentu berbeda. Yang satu bisa saja memang suara partai di parlemen memang
tinggi, atau suara partai di parlemen memang ada tetapi kecil. Sedangkan yang
satunya, presiden tanpa ada partai yang mendukungnya secara finansial di
pemerintahan, maksudnya tidak ada tunggangan partai untuk naik menjadi
presiden.
Presiden dipilih dengan cara
demikian tentu kalau kita merenung mungkin satu dia berjuang untuk dirinya
sendiri (kepentingan pribadi) atau benar-benar demi untuk kepentingan rakyat.
Habibie berharap bahwa ketika dia maju independen menjadi presiden, dia bekerja
tanpa perlu memperhatikan kepentingan partainya. Dia bekerja bukan untuk
partainya. Dia bekerja hanya untuk rakyat. Ide ini tentu sangat brilian bahwa
presiden dari independen maupun dari partai terlepas dari kepentingan mana pun,
apalagi partainya. Memag seharusnya demikian, ketika dia sudah menjadi
presiden, partai tidak menganggu presiden dan minta’jatah’. Itu bukan
negarawan. Seharusnya kita tahu bahwa presiden bekerja untuk rakyat bukun untuk
partai.
Lihat sekarang saja, orang dari
partai tertentu yang sudah masuk ke pemerintahan bukannya lepas dari partai,
malah direkrut untuk menjadi ketua pembina, ketua umum, atau pengurus aktif di
partainya. Hal ini terlihat bahwa partai hanya menginginkan pengaruh orang ini
agar mampu mempengaruhi kebijakan partai di pemerintahan agar kepentingan
partai dilindungi. Saya beri contoh masalah pajak. Orang tidak suka bayar
pajak. Orang dari partai yang mempunya perusahaan besar ingin ada temannya di
pemerintahan membuat kebijakan atau hukum agar membantu dia untuk memperingan
pembayaran pajak. Bisa saja penghindaran pajak yang legal karena kebijakannya
sudah terbuka untuk dicurangi.
Lihat kembali partai sekarang,
ketika mungkin saja dia hanya mendapat sura 20 persen saja, namun karena
beruntung orang dari partainya lah yang menjadi pemimpin negara atau pemimpin
pemrintah bagian lainnnya, merasa bahwa partainya lah partai penguasa. Mereka lupa
kalau ada 80 persen suara partai lainnya. Sangat disayangkan hal ini terjadi. Belum
tentu partai ini kuat suaranya namun orang di partainyalah yang menjadi
presiden. Ini hanya kebruntungan semata terlihat. Seorang negarawan menurut Anies
Baswedan kala itu adalah ketika dia turun dari jabatan presiden, dia tidak
menganggu proses pemilihan presiden selanjutnya dan hanya memberi nasihat saja
kepada penerusnya.
Habibie berharap bahwa orang
sudah pernah berkuasa seharusnya memberikan kekuasaannya kepada orang yang
lebih muda untuk meneruskan perjuangan. Dalam pikiran saya, kalau saya memilih Prabowo,
Aburizal Bakrie, Wiranto, dll yang merupakan jagoan tua akan tetap melakukan
hal yang pernah dilakukan pemerintah sbelumnya karena mereka terpengaruh era
45, era lama yang perlu pembaharuan. Slogan dapat dibohongi umur tidak
dibohongi.
Sebut saja Wiranto, kenapa beliau
sangat terkenal saat ini padahal dahulu dia sangat tidak diandalkan menjadi
presiden. Tentu alasannya karena pasangannya, yaitu pemilik MNC group yang kaya
raya. Hary Tanoe selalu berpindah partai sebelumnya sebelum masuk ke partai
Hanura. Hal ini patut dicurigai karena dia hanya mau masuk ke partai dan
membantu partai tersebut jika dia dicalonkan menjadi presiden atau wakil
presiden atau dijanjikan jabatan penting lainnya di pemerintahan. Saya tidak
mampu berprasangka baik. Mungkin dia bermaksud juga untuk memajukan rakyat
dengan memberikan lapangan pekerjaan melalui stasiun tv nya. Namun, mungkin
juga dia ingin membuat kebijakan yang mungkin membantu dalam mengembangkan
bisnisnya. Saya tidak tahu sesungguhnya. Namun, jika dia ingin membantu secara
riil mengapa harus menunggu jadi wakil presiden. Dia menjadi CEO saja sudah
mampu membantu orang lain. Ingat, dia pun akan terkendala ketika suara di
parlemen tidak banyak menyetujuinya. Namun, lobi bisa saja dilakukan nanti
ketika menjadi presiden atau wakil presiden. Yang penting jadi dulu.
Presiden memang bisa saja
dicalonkan dari independen karena diharapkan dia terlepas dari pengaruh dan
kepentingan partai yang biasanya meminta balas budi ketika dia menjadi pemimpin
negara. Namun, saya tetap berharap bahwa partai politik sebagai wadah rakyat
untuk belajar politik. Oleh karena itu, presiden kalau bisa dari partai politik.
Dan ketika dia akhrinya menjadi presiden, partai tidak perlu menarik lengan
baju presidennya untuk minta upah karena presiden sudah lepas dari partai. Partai
pun sadar bahwa presiden dulu maupun sekarang bekerja untuk rakyat BUKAN untuk
partai. Partai bukan sekedar tunggangan, dia adalah wadah belajar mencetak
bibit unggul pemuda penerus pemimpin bangsa dan tetap partai akan bejalan
menjadi alat kader yang baik bukan untuk memuluskan kepentingannya tetapi untuk
kepentingan bersama.
Berpolitik? Tentunya tidak semua
orang berpolitik praktis. Jika semua berpolitik yang bekerja siapa? Benar-benar
pernyataan menarik dari Habibie. Saya rasanya sadar bahwa saya tidak mampu
terjun ke politik tetapi saya mampu bekerja. Itu saja sudah menjadi bentuk
bakti saya kepada negara tanpa masuk parti politik. Saya cukup menulis
memberikan info, politik melalui media tentunya.
Semoga tulisan saya menjadi bahan
perenungan teman-teman terkait pemilihan presiden. Ingat. Bekerjalah untuk
kepentingan bangsa! Bukan untuk Partai!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa pendapatmu atas tulisa saya di atas?