DI
MANA PUN KAU BERADA, BAHAGIALAH..
Assalamualaikum wr.wb.
Selamat malam bagi semua blogger
se-Indonesia. Malam terang di musim hujan ini membuat pikiran untuk menuangkan
dengan terang apa yang ada di dalam hati dan pikiranku saat ini. Serasa sudah
setahun atau terasa sangat lama, aku tak menuliskan percikan ide ataupun secuil
curhat yang kadang isinnya berkobar-kobar. Mungkin inilah saat ini waktu
senggang yang aku miliki di malam yang dinginnya tidak terlalu menusuk tapi
anginnya membuat mataku sayu, seakan ragu apakah akan kulanjutkan tulisan ini.
Yah, aku akan tetap melanjutkan tulisan ini walau angin tidak akan berhenti
menggerakkan udara di malam sunyi ini.
Kubuka telepon genggamku dan kuputar
lagu kesukaanku, yaitu selamat datang yang dinyanyikan oleh Duta dan bandnya,
Sheila on 7. Lagu di mana yang menyemangatiku untuk tetap bahagia dan menjadi
dewasa di manapun aku berada walau jauh dari rumah dan orang tua. Oh,,
dimanapun kau berada, oh... bahagialah.. Lagu yang sangat pas untukku yang
sudah hidup merantau untuk bekerja di kota pelajar, Yogyakarta. Kota terunik
yang pernah aku kunjungi, dan sekarang menjadi pelabuhanku untuk menempa diri
membangun bangsa dan negara. Kota yang sudah aku impi-impikan semenjak duduk di
SMP kelas 9. Kala itu sangat jelas di pikiranku bahwa aku ingin melanjutkan SMA
di kota berbudaya ini tetapi apa daya orang tua tak sanggup melepaskanku pergi
jauh dari kota kelahiranku, Tegal. Teringat jelas alasan orang tua tidak rela
melepasku karena aku adalah gadis manja yang masih belum mampu mengatur jadwal,
belum bisa mencuci pakaian sendiri, bahkan memasak. Itu alasan yang tidak masuk
akal menurutku karena sejak Sekolah Dasar kelas 5 aku sudah mengikuti pramuka,
saat di mana aku belajar segalanya untuk mandiri. Yah,, waktu terus berlalu,
impian untuk tinggal di sini tetap ada di pikiranku, langkahku, usahaku, dan
doaku.
Mendambakan berkuliah di UGM adalah hal
lumrah untuk setiap siswa kelas XII SMA di kotaku tinggal. Bukan karena UGMnya,
tetapi karena Jogjanya. Yah, masih karena Jogjalah alasanku untuk mencari
segala cara agara aku dapat tinggal di sini. Berharap menghirup segarnya udara
pagi di kota Jogja setiap harinya. Namun, tantangan menempa salah satu tahap
dalam perjalanan hidupku. Aku diminta Allah untuk melanjutkan sekolah tinggi di
Jakarta, tepatnya, di Bintaro, Jakarta Selatan. Tidak pernah terpikirkan akan
tinggal di Jakarta dan Jakarta tidak pernah menjadi pilihan dalam melanjutkan
pendidikan.
Aku harus tetap kuat dan bahagia di
manapun aku berada, termasuk di Jakarta. Jakarta tidak buruk menurutku. Malah
pernah terbesit di pikiranku untuk tetap di Jakarta saat magang atau bekerja
nantinya karena melihat fasilitas yang ada di Jakarta. Bisa dibilang apa saja
ada di sana, dari barang yang termurah dan barang yang tidak bisa dibeli. Haha.
Dari barang langka sampai barang yang umum ditemui. Keadaan ini berbeda sekali
dengan Tegal, yang tidak semua barang dapat di beli, jangankan dibeli, ditemui
saja tidak. Telepon genggam terbaru pun
sudah ada di Jakarta sebelum beredar ke seluruh Indonesia. Jakarta mudah
dijangkau menurutku, aku bahkan jarang sekali tersesat ketika mengendarai
sepeda motor tuaku di jalan beraspal panas Jakarta. Aku menikmati sekali
berjalan berkeliling Jakarta. Bundaran HI yang sekarang dilarang untuk dilalui
Jakarta, aku sudah pernah memutarakan roda sepeda motorku di sana. Masuk gang
sempit, salah masuk jalan tol, putar balik jalan, bersenggolan dengan spion
mobil, diklakson oleh kendaraan lain adalah satu dari beberapa unik yang bakal
kamu alami. Bagi kalian yang suka naik transportasi umum, tidak akan pernah
merasakan betapa ‘ramahnya’ orang Jakarta, yang salah malah teriak-teriak
sendiri. Aku ‘pernah’ naik transportasi umum Jakarta, walau itu bukan kegiatan
favoritku. Tidak akan bisa dibayangkan jika setiap pagi kalian berlomba
menghitung 1, 2, dan 3 untuk masuk ke dalam KRL. Kegiatan yang ‘sangat’ menyenangkan
untuk sesekali saja, bukan setiap pagi yah.
Setahun menganggur, aku pun memutuskan
dengan sambil berdoa mendapat magang di Tegal, tempat terdekat dari rumah. Walaupun
sebenarnya jarak tempuh antara rumah dan kantor adalah 30 menit. Menurutku
cukup jauh karena setiap pulang magang, yang kulakukan hanya tidur dan kemudian
bangun kembali. Haha. Banyak hal yang baru aku dapatkan di tempat magang,
benar-benar persiapan bekerja. Tidak bisa dibayangkan aku akan bekerja tanpa
training terlebih dahulu.
Impianku satu persatu terkabul. Allah
yang Maha Kuasalah yang membuat itu terjadi. Selain bisa menginjakkan di negara
yang sejak kecil aku inginkan, aku pun ditempatkan di kota yang aku idolakan.
Yap, betul, Yogyakarta. Alhamdulillah wa syukurilah, aku diberikan lebih oleh
Allah, Penciptaku yang Maha Hebat. Aku memilih Bantul, Semarang, dan Makasar
kala siang itu, saat orang-orang sebelumnya sudah mengisi poling penempatan,
aku berpikir, poling itu tidak akan berpengaruh apa-apa kepadaku. Kemudian
telepon berdering memaksaku untuk segera mengisi polling penempatan. Aku sambil
kesal memaksakan diri mengisi poling yang aku anggap tidak penting. Namun
demikian, satu hal yang aku inginkan yaitu Bantul. Aku pikir tidak akan ada
yang memilih Bantul, karena jauh dari kota dan aku sudah tahu betul jalan di
Bantul, karena setahun aku tinggal di Bantul.
Kota Yogyakarta, persis berdampingan
dengan Keraton Yogyakarta, aku tinggal. Hanya 15 menit aku berjalan untuk
mencapai kantorku yang baru. Hampir 8 bulan sudah aku belajar di tempat yang
baru dan mendapatkan teman yang baru. Banyak hal yang aku lalui dan banyak pula
hal yang akan aku ceritakan di sini.
Inti dari cerita malam ini adalah betapa
bersyukurnya aku bisa bekerja di Jogjakarta karena dulu aku merasa aku tidak
sanggup bekerja sebagai ASN aka PNS yang terlihat monoton dan tidak ada
tantangan. Namun, semua itu salah, akulah, kamilah pembaharu bagi kantor tempat
kami bekerja. Kamilah inovator, pencipat hal-hal yang baru, yang sebelumnya
tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Banyak tantangang yang muncul tiba-tiba
atau aku mencari tantangan itu sendiri.
Tanda tanganku terpampang di path
seorang pelanggan yang merasa kecewa atas pelayananku merupakan salah satu hal
yang baru dalam hidupku. Seorang wartawan yang tiba-tiba mengeluarkan kartu
pressnya memaksa aku menurutinya, kalau tidak aku akan dimasukkan dalam
korannya adalah hal lain yang masih aku tertawakan saat ini. Aku menertawakan
diri sendiri mengapa aku takut kala itu. Pengalaman luar biasa, ketika aku harus
lembur sampai jam 10 atau 11 malam hanya untuk mengerjakan kiriman pos atau
sekarang-sekarang ini, di mana kebanyakan pegawai lainnya bersiap pulang pada
pukul 17.00, aku malah baru memulai pekerjaanku di sore hari dimana sambungan
intranet atau internet bebas aku pakai. Aku senang jika pekerjaanku selesai
pada hari itu karena aku yakin besok akan ada pekerjaan lain yang menanti.
Bertemu teman satu meja, yang satu tahun
lebih muda dariku membuatku merasa bermain saat bekerja, saling berdiskusi
karena sama-sama baru. Menangis saat ditinggalkan oleh senior handal ke lantai
atas. Aku merasa beban ada di pundakku, merasa aku menjadi bayi prematur, yang
belum pantas untuk menjadi senior kedua, dipaksa menjadi yang ‘dituakan’. Kadang
merasa lelah karena harus mengalah dengan senior lain yang berkebutuhan khusus,
seperti menyusui dan merokok. Namun, semua itu adalah tantangan tersendiri
bagiku, lumayan bisa sebagai cara diet alami, menahan lapar sampai pukul 13.00
atau 14.00.
Semua itu harus disyukuri, karena hal di
atas mungkin tidak akan terjadi kalau aku bekerja di provinsi lain. Aku harus
rajin-rajin bersyukur, karena aku sudah ditempatkan di Jogjakarta. Aku
diharuskan bekerja sampai mata tersayu-sayu pun aku akan rela lakukan sebagai
bentuk syukurku kepada Allah karena telah menempatku di kota berhati nyaman ini.
Segala bentuk perjuangan, keringat,
terkurasnya tenaga dan pikiran adalah bentuk ibadahku kepada Allah. Kalau
dipikir-pikir, gajiku tidak lebih tinggi daripada orang yang bekerjanya sama persis
denganku dengan beban pikiran dan waktu yang sama. Namun, gaji hanyalah
bersifat duniawai saja. Keikhlasan dan kerelaan hati yang diajarkan oleh ketua
Pusdiklat Pajak waktu aku belajar di Jakarta tahun lalu. Keikhlasan bekerja dan
mengabdi kepada negara dan bangsa ini adalah kunci agar kita tetap tersenyum
dalam bekerja dari pagi sampai sore. Semoga keikhlasan ini dibalas oleh Allah
dengan mempertemukan orang-orang yang baik hatinya mau membantuku dalam
beribadah, mempercepat pekerjaan di kantor dengan berbagai bentuk cara.
Terima kasih untuk Mba Kiki yang
senantiasa mendengarkan celotehanku dan mau mengingatkanku kalau ada salah atau
kealpaan. Terima kasih untuk Mas Agus yang sangat sabar menjawab pertanyaan
pelanggan dan pertanyaanku dari awal aku masuk sampai sekarang masuk. Terima
kasih mba Fajar yang senantiasa mengingatkanku akan ketidaksukaanku pada
birokrasi kantor ini. Terima kasih untuk Mba Anika yang dengan senang hati
meringkan pekerjaan kami tanpai diminta untuk membantu. Terima kasih untuk Mas
Jay yang senantiasa mau belajar hal yang baru di tempat yang baru. Selamat
datang Mas Jay. Terima kasih Adit yang mau diajarin hal yang baru dan akhirnya
mendapatkan hal baru dari Indri. Terima kasih untuk Indri yang mau setia
guyonan denganku di kala aku sedang stress dan menolongku bikin SKP haha.
Terima kasih untuk Mas Edo yang senang mendengarkan curhatku tentang berbagai
hal dan sudah menumkan cara jitu yang katanya berusaha 10 langkah lebih cepat
dari cara sebelumnya. Terima kasih untuk mba Putri yang sekarang sudah tahu
tentang selak beluk perpajakan, satpam cantik yang sudah hapal bagaimana
menangani pelanggan dengan baik. Terima kasih mba Ratih yang semua-semuanya
diserahkan kepadaku, tetapi tetap senang membantuku. Terima kasih mba Sasi yang
sudah senantiasa mendengarkan celotehanku yang tidak penting dan mau bercapai
capai ria untuk pulang agak ‘sore’ dan sudah sabar banget dengan cerewetnya
pegawai lain yang hanya bisa ‘cerewet’ tanpa aksi. Sungguh aku bangga pada
orang-orang ini, walau masih sebagai pelaksana, tetapi jiwanya pemimpin.
Pemimpin buka suatu jabatan, pemimpin itu sikap dan tingkah laku. Kalianlah
panutanku, contoh yang terlihat nyata di duniaku sehari-hari. Kita bertemu 10
jam dalam sehari 24 jam. 41,667 persen waktuku untuk bertemu denganku, atau
hampir setengah hari aku bertemu denganmu, bahkan lebih banyak bertemu dengan
mu wahai kawanku dibandingkan dengan keluargaku sendiri. Semoga tetap terjalin
persaudaraan yang baik antara kita dan bermanfaat, bersama-sama membangun
bangsa dan negara ini.
Terima kasih
14 03 2016
HR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Apa pendapatmu atas tulisa saya di atas?